Mengenai Saya

Sabtu, 19 Desember 2009

Analisis Tawuran Pelajar di Indonesia

I. PENDAHULUAN

Tawuran antar pelajar merupakan fenomena sosial yang sudah dianggap lumrah oleh masyarakat di Indonesia. Bahkan ada sebuah pendapat yang menganggap bahwa tawuran merupakan salah satu kegiatan rutin dari pelajar yang menginjak usia remaja. Tawuran antar pelajar sering terjadi di kota-kota besar yang seharusnya memiliki masyarakat dengan peradaban yang lebih maju.

Para pelajar remaja yang sering melakukan aksi tawuran tersebut lebih senang melakukan perkelahian di luar sekolah daripada masuk kelas pada kegiatan belajar mengajar. Tawuran tersebut telah menjadi kegiatan yang turun temurun pada sekolah tersebut. Sehingga tidak heran apabila ada yang berpendapat bahw tawuran sudah membudaya atau sudah menjadi tradisi pada sekolah tertentu.

Kerugian yang disebabkan oleh tawuran tidak hanya menimpa korban dari tawuran saja, tetapi juga mengakibatkan kerusakan di tempat mereka melakukan aksi tersebut. Tentunya kebanyakan dari para pelaku tawuran tidak mau bertanggung jawab atas kerusakan yang mereka timbulkan. Biasanya mereka hanya lari setelah puas melakukan tawuran. Akibatnya masyarakat menjadi resah terhadap kegiatan pelajar remaja.

Keresahan tersebut sendiri merupakan kerugian dari tawuran yang bersifat psikis. Keresahan ini akan menimbulkan rasa tidak percaya terhadap generasi muda yang seharusnya menjadi agen perubahan bangsa. Dari segi politik, hal tersebut dimanfaatkan oleh para pemegang otoritas untuk melanggengkan status quo-nya. Mereka memanfaatkannya dengan cara membangun opini publik bahwa para pemuda di Indonesia masih balum mampu menduduki otoritas kekuasaan politis di Indonesia.

“Tawuran sudah jadi tradisi dari dulu”. Ungkap Adi alias cacing yang merupakan alumni dari SMA Negeri 4 Yogyakarta. Dari peryataan tersebut semakin menguatkan bahwa tawuran antar pelajar telah menjadi kegiatan yang sifatnya kultural pada tiap sekolah, terutama sekolah menengah. Kondisi tersebut memancing pertanyaan terutama dari sudut pandang sosiologis.

Menurut seorang sosiolog asal Jerman, Emille Durkheim, tindakan para pelajar dalam tawuran merupakan perilaku menyimpang atau deviance. Faktor penyebab deviance sendiri beraneka ragam sehingga diperlukan analisis dengan perspektif sosiologi konflik untuk menemukan upaya rekonsiliasi yang mampu mengamodasi permasalahan tersebut.

II. PERMASALAHAN

Permasalahan tersebut, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bukan merupakan permasalahan yang baru saja muncul. Di salah satu kota besar di Indonesia seperti Jakarta misalnya, terdapat sekolah menengah di kawasan Bulungan, Jakarta Selatan yang sejak dahulu ‘rutin’ melakukan tawuran. Hingga kini sekolah tersebut menjadi buah bibir pelajar sekolah menengah di Jakarta. Dalam sekolah tersebut, tawuran tidak hanya terjadi antara sekolah tersebut dengan sekolah lainnya, tetapi juga sering terjadi perkelahian internal sesama pelajar di sekolah tersebut terutama yang bersifat senioritas.

Hal yang serupa terjadi pada pelajar sekolah menengah di Yogyakarta. Para pelajar di sebuah sekolah telah dapat membedakan mana sekolah yang menjadi ‘kawan’ serta mana pula yang menjadi ‘lawan’. Hal ini telah diturunkan dari suatu angkatan ke angkatan di bawahnya.

Permasalahan tawuran kini telah meluas lingkupnya hingga ke hal-hal yang sudah tergolong dalam lingkup kriminalitas. Hal ini karena dalam sebuah fenomena sosial pasti terdapat efek beruntun ataupun efek bersamaan. efek yang ditimbulkan tersebut diantaranya adalah pemerasan, penodongan, pembajakan angkutan umum hingga ke tindakan penculikan. Namun sayangnya, tindakan ini masih dianggap sebagai deviance dalam masyarakat. Deviance terjadi apabila tingkat penyimpangan yang diasosiasikan terhadap keinginan atau kondisi masyarakat rata-rata telah melanggar batas-batas tertentu yang dapat ditolerir sebagai masalah gangguan keamanan dan kenyamanan masyarakat.

Sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari mesyarakat termasuk dinamika dan gejala-gejala yang terjadi didalamnya yang dapat ditangkap dan dianalisis.[1] Tawuran pelajar sekolah menengah yang terus mengalami perkembangan yang mengarah kepada tindakan kejahatan merupakan sebuah gejala sosiologis yang dapat dipelajari dan ditelusuri sebabnya. Terdapat pendapat yang mengatakan bahwa kejahatan merupakan fenomena yang selalu dihadapi oleh setiap masyarakat. Kejahatan tidak mungkin dihilangkan, tetapi kejahatan hanya dapat dikurangi intensitas dan kualitasnya.

Sekalipun hanya dikurangi, namun hingga kini belum ada upaya konkrit untuk mengatasi permasalahan tersebut. Akibatnya fenomena tersebut kini mengkristal menjadi hal yang bersifat sistemik. Hal ini disebabkan oleh berbagai macam alasan. Mulai dari kecemburuan sosial, altruisme berlebihan, bahkan sampai ke pembalasan dendam.

Ada pula anggapan yang menyatakan bahwa prosedur pendidikan di Indonesia juga berpengaruh terhadap koflik yang marak terjadi di Indonesia. Pendidikan di Indonesia cenderung memaksakan seorang pelajar untuk berpikir sesuai dengan kurikulum yang dibuat oleh pemerintah. Kurikulum tersebut cenderung mengeksploitasi kemampuan berpikir dari pelajar. Akibatnya para pelajar merasa dipenjara oleh fakta sosial pendidikan yang ada sehingga ingin melakukan hal yang menurut mereka di luar dari fakta sosial tersebut dan bersifat deviance.

Pendidikan sebenarnya hanyalah sekumpulan konsep dari rumus, teori, ujian, dan tidak lebih dari itu. Hal tersebut tidak dapat ditawar oleh pelajar dan akhirnya menciptakan kondisi yang mereka anggap sama diantara pelajar tersebut. Kemudian muncul ikatan kelompok yang cukup kuat seperti gank-gank ataupun sejenisnya, sehingga mendorong sikap altruistik di kalangan pelajar. Sikap altruistik menunjukkan ikatan yang terlalu kuat dengan kehidupan kolektif remaja tersebut. Wajib belajar 12 tahun telah berhasil mewujudkan sikap kolektivitas di kalangan remaja. Kolektivitas inilah yang pada akhirnya menjadikan sikap altruisme di kalangan remaja dan membentuk kelompok-kelompok. Pada kelompok-kelompok ini tawuran bisa terjadi oleh faktor spontanitas kolektif untuk membela ikatan mereka ataupun paksaan dikarenakan seorang pelajar dianggap sebagai pengecut oleh rekan-rekannya dalam lingkungan tersebut. Tidak jarang anggota kelompok yang lainnya memancing tawuran dengan alasan membalaskan dendam anggota kelompoknya.

Di sisi bersamaan, dalam melakukan tawuran biasanya para pelaku tawuran membutuhkan perlengkapan ataupun fasilitas yang lainnya. Tidak jarang mereka membajak angkutan umum untuk mobilitas mereka ke tempat mereka akan melakukan tawuran.

III. ANALISIS SUMBER KONFLIK

Dalam memahami dan mengkaji secara mendalam konflik antar pelajar di Indonesia, maka salah satu caranya adalah dengan menggunakan empat asumsi dasar tentang konflik. Asumsi dasar ini biasanya dijadikan dasar untuk pengembangan teori atau orientasi dalam melihat konflik sehingga dapat menemukan rekonsiliasi yang sesuai. Keempat asumsi dasar tersebut berlandaskan pada teori konflik dari Ralf Dahrendorf.

Asumsi dasar yang pertama adalah konflik terdapat dimana-mana. Berlandaskan asumsi ini dapat dipahami bahwa konflik antar remaja juga ada dimana-mana serta merupakan hal yang lumrah terjadi dalam masyarakat. Asumsi ini didasari karena sejak awal, manusia memang dilahirkan berbeda sehingga terkadang perbedaan tersebut sengaka ditonjolkan oleh beberapa pihak dan memunculkan konflik. Perbedaan tersebut akhirnya memunculkan persengketaan yang sarat akan kekerasan. Dalam persengkataan tersebut biasanya suatu pihak akan berusaha untuk menghilangkan hak orang lain bahkan sampai kepada hak hidup. Hal tersebut terbukti dengan adanya tawuran remaja yang berbeda kelompok yang tidak jarang berbuntut pada penghilangan nyawa seseorang.

Asumsi yang kedua adalah bahwa di dalam konflik diperlukan aktor-aktor untuk mendukung terjadinya konflik sosial tersebut. Selain aktor, ternyata terdapat juga skenario yang memang sengaja dibuat untuk mewujudkan konflik tersebut. Hal ini terbukti dari pernyataan yang menyatakan bahwa pihak-pihak alumni ataupun senior juga berperan dalam sebuah konflik yang terjadi dengan cara melakukan provokasi terhadap bawahannya.

Asumsi yang ketiga adalah bahwa konflik memiliki dampak perubahan. Perubahan tersebut dapat menjadi negatif, bahkan dapat pula menjadi positif. Sehingga terkadang ada pula pendapat yang menyatakan bahwa konflik memiliki dua sisi. Dalam kasus perkelahian antar pelajar di Indonesia, dampak negatif yang ditimbulkan adalah aksi kekerasan yang bersifat anarkis. Sedangkan dampak positifnya adalah semakin terintegrasinya sebuah kelompok tertentu.

Asumsi yang keempat adalah bahwa konflik dapat menyebar ke seluruh masyarakat. Terbukti bahwa dalam kasus ini, konflik yang pada awalnya hanya merupakan konflik antar individu, telah berubah menjadi konflik antar kelompok.

Sumber konflik

Dalam menganalisa sumber konflik, perlu diidentifikasi penyebab tersebut berdasarkan dimensi-dimensinya. Sumber konflik struktural berkaitan dengan kebijakan dan pengambilan keputusan yang salah, dari pemerintahan pusat kepada daerah. Hal tersebut sesuai dengan yang telah diuraikan sebelumnya bahwa kurikulum yang ditetapkan pemerintah juga turut serta dalam perwujudan konflik antar pelajar. Hal inni disebabkan karena para pelajar merasa terkekang dalam kurikulum yang telah mengeksploitasi waktu serta pikiran mereka. Walhasil, mereka akan melakukan upaya untuk terbebas dari aturan-aturan tersebut dengan melampiaskannya dalam konfrontasi fisik.

Dimensi yang kedua adalah dimensi kultural. Dilihat dari dimensi ini, konflik antar pelajar remaja telah menjadi adat dari remaja itu sendiri. Hal ini menciptakan suatu nilai dalam remaja bahwa yang tidak ikut dalam tawuran adalah remaja yang pengecut. Atas dasar inilah, para remaja menjadi bersikap militan terhadap kelompoknya sekalipun mereka tidak mengetahui sebab konflik itu terjadi.

“Sebab konfliknya tidak jelas. Biasanya dipanas-panasin sama senior”. Ungkap Jojo yang merupakan alumni dari SMA Negeri 1 Depok, Sleman. Ungkapan ini menguatkan pendapat bahwa tawuran juga memasuki dimensi kultural yang telah mengakar dalam kehidupan para remaja pelajar.

Dimensi yang ketiga adalah dimensi perilaku. Hal ini berkaitan erat dengan spek psikologis dari para pelajar remaja di Indonesia. Konflik sosial psikologis berkaitan dengan persoalan salah persepsi, stereotip, sikap yang negatif, bahkan hingga ke persoalan identitas kelompok dan daerah. Salah dalam persepsi mengambil jalan pintas akan menimbulkan stereotip, dan akhirnya stigmatisasi terhadap suatu kelompok terbentuk. Sementara itu, identitas kelompok yang mengeras dan ekslusif menimbulkan jarak dengan kelompok lain, dan amat mudah bergesekkan dan menimbulkan konflik.

Dimensi inilah yang dimanfaatkan oleh para provokator untuk menyulut konflik antar sekolah. Terkadang tujuan provokasi tersebut adalah hanya untuk mencari-cari kegiatan tawuran.

Dari ketiga dimensi diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa permasalahan konflik antar pelajar bukan lagi hal yang bisa ditolelir oleh masyarakat. Sehingga dibutuhkan upaya rekonsiliasi secepatnya agar tidak muncul efek yang lebih besar lagi.

IV. REKONSILIASI

Dari uraian di atas, dapat diperoleh beberapa upaya rekonsiliasi untuk mengurangi konflik yang terjadi pada pelajar remaja. Namun upaya rekonsiliasi tersebut membutuhkan peran serta berbagai pihak dalam pelaksanaanya.

Dari segi struktural, upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menata ulang kurikulum pendidikan di Indonesia yang sesuai dengan kultur budaya di Indonesia. Hal ini dapat membuat siswa menjadi nyaman dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah. Apabila siswa merasa nyaman, maka mereka tidak akan mencari kegiatan lain yang dapat mencelakakan diri dan orang lain serta cenderung untuk tidak melakukan penyimpangan.

Dari segi kultural, upaya yang dapat dilakukan adalah pihak sekolah selaku institusi pendidikan harus mampu menciptakan suasana yang nyaman bagi siswa. Pihak sekolah juga harus mampu membuat kegiatan yang dapat mengisi waktu luang para siswanya. Dan yang terakhir, dari dimensi perilaku yaitu upaya yang dapat dilakukan adalah kontrol dari lembaga inti yakni lembaga keluarga. Dalam sebuah kelarga hendaknya terdapat hubungan yang komunikatif sehingga dapat menyelesaikan permasalahan yang terjadi di dalam anggota keluarganya.

V. REFERENSI

Francis, Diana. 2002. Teori Dasar Transformasi Konflik Sosial. Yogyakarta: Quills

Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. 2008. Teori Sosiologi dari teori sosiologi klasik sampai perkembangan mutakhir teori sosial modern. Yogyakarta: Kreasi Wacana

http://titiandamai.org/konten.php?nama=Sumber&op=detail_sumber&id=10

http://www.scribd.com/doc/20775852/6-Tinjauan-Sosiologis-Dan-Politis-Tawuran-Pelajar-by-DN



[1] http://www.scribd.com/doc/20775852/6-Tinjauan-Sosiologis-Dan-Politis-Tawuran-Pelajar-by-DN

Tidak ada komentar: